Skip to content

Refleksi Novel Zaynur Ridwan, The Khilafa

Refleksi Novel Zaynur Ridwan, The Khilafa
Ini semacam kecamuk dalam jiwa. Merontah tersebab terusik. Terusik bukan karena fisik diganggu. Namun, sebuah refleksi jiwa yang marah dalam menitih sebuah realitas.
Refleksi ini terlahir setelah membaca 3/4 bagian novel dari Zaynur Ridwan dari Novel Triloginya, bagian terakhir, The Khilafa. Edisi terakhir dari trilogi ini menggambarkan perjalanan seorang pemuda asal Indonesia yang bernama Bumi ke bumi para mujahid dan mujahidah, Palestina.
Di novel ini digambarkan bagaimana keadaan di Palestina. Ada selaksa rasa yang berbeda dalam merasakan realitas ini. Ini membuat saya lebih emosional. Menyentuh emosi yang nyatanya tak sebanding disaat hanya membaca sebuah pemberitaan atau reportase di media massa. Dengan novel, saya juga merasa, mendengar, melihat laksana yang terdapat dalam novel.
Palestina, bumi para mujahid. Bumi dimana dilahirkan banyak nabi dan rasul Allah. Kini menjadi medan perang yang berkepanjangan. Sebuah anugerah terindah bagi seorang muslim untuk meraih derajat tertinggi, meninggal dalam keadaan syahid.
Ini sungguh membuatku sedih. Sedih merefleksi perjalanan hidup. Kami merasa terpisah dengan perjuangan ini. Padahal kami semua adalah saudara. Ikatan akidahlah yang membuat kami bersatu, merekat bagai seperti seorang yang memiliki ibu kandung yang sama. Terlahir dari ibu kandung yang sama, Islam.
Apa yang terjadi di Palestina tidak bisa tergambarkan lewat layar televisi. Juga, tidak akan bisa digambarkan lewat reportase media massa. Di sana, saudara-saudara kami tidak memiliki cita-cita mengejar dunia. Mereka telah kenyang dan yakin dengan bulat terhadap cita-cita yang sesungguhnya, syahid. Segala potensi yang mereka galang dan kumpulkan, bukan semata untuk meraih nikmat dunia yang sebentar ini. Namun, semuanya mengerucut untuk memperjuangkan agama Allah.
Para pejuang Palestina; para pemuda, anak-anak, hingga wanita-wanita mereka teguh di atas sebuah prinsip. Sebuah prinsip yang lahir bukan hanya sehari atau dua hari, namun merupakan kumpulan kepedihan yang bersatu menggumpal. Menggumpal namun bukan sebuah dendam kesumat. Namun, sebuah ikhtiar di jalan Allah sembari mengikatnya untuk berharap akan ridhaNya.
Kita bisa berkilah mencari dalih. Mereka tegar karena berada dalam keadaan krisis. Sebuah proses normal dari hidup manusia. Manusia kuat karena berusaha bertahan hidup, terjepit oleh keadaan, situasi dan kondisi. Namun, saya melihatnya lebih daripada itu. Kalau bangsa-bangsa lain juga menjadi kuat karena kepedihan masa lalu yang mereka telah lalui, namun berbeda yang dirasakan oleh ummat Islam. Kepedihan boleh saja sama namun keyakinan dibalik kepedihan itu yang membedakan.
Jikalau orang-orang yang berada di luar jalur akidah Islam merasa kepedihan hidup adalah sebuah proses mempertahankan hidup sebagai naluriah maka Islam memberikan nuansa baru bagi khasanah jiwa dan keyakinan bagi pemeluknya.
Kepedihan yang dirasakan oleh ummat Islam bukanlah sebuah kutukan. Namun, ini bisa menjadi batu sandungan untuk meraih tujuan tertinggi, ridha Allah SWT. Kepedihan bisa menjadi hujjah atas pengampunan dosa mereka, mengangkat derajat mereka pada derajat tertinggi orang-orang yang beriman dan bertakwa.
Keniscayaan akan kebutuhan Khilafah, bukan semata tuntutan akidah. Namun, sudah menjadi realitas tak terbantahkan atas sebuah jawaban dari segala persoalan, permasalahan yang dihadapi oleh ummat Islam. Semuanya menanti sebuah kedamaian dunia, keselamatan dan rahmat. Namun, bisakah kita kembali berkaca untuk merefleksi, bahwa hanya di bawah tuntunan Al Quran dan Sunnalah hidup manusia akan tenang. Di bawah hukum-hukum Allah-lah kesejahteraan bukan semata omongan dan harapan, namun sebuah kenyataan sebagai konsekuensi keimanan.
Kami menunggu masa itu….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *