Antara kebutuhan jasmani dan naluri yang dimiliki oleh manusia berbeda satu sama lain. Kebutuhan jasmani mutlak harus dipenuhi untuk melangsungkan hidup manusia. Sedang pemenuhan kebutuhan naluri bisa tidak dipenuhi.
Kebutuhan jasmani meliputi kebutuhan akan makan, minum, mengeluarkan zat sisa, istirahat dan yang sejenisnya. Sedang naluri manusia dibedakan menjadi 3 yakni, naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa’), naluri melanjutkan keturunan (gharizatun na’un), dan naluri menyucikan sesuatu (gharizatut tadayyun).
Adanya potensi manusia berupa kebutuhan jasmani dan naluri mengharuskan manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pemenuhan kebutuhan manusia inilah yang membuat kehidupan manusia menjadi dinamis jika disertai dengan penggunaan akal dalam memenuhinya.
Hal ini dikarenakan dengan potensi aqliyah (akal), manusia berbeda dengan hewan. Hewan hanya memiliki potensi kebutuhan jasmani dan naluriah, potensi akal tidak dimiliki oleh hewan.
Pemenuhan kebutuhan manusia menuntuk manusia untuk menggunakan segala sumber daya yang dimilikinya untuk memenuhinya. Contoh misalnya, untuk mendapatkan makanan atau minuman, manusia harus mencarinya atau bekerja untuk mendapatkan makanan. Disini manusia menggunakan akalnya untuk mencari atau mendapatkan makanan atau minuman pemnuas kebutuhan jasmaninya. Karena di saat manusia mengabaikan penggunaan akal dalam pemenuhana kebutuhannya, maka sama saja antara manusia dengan hewan atau malah lebih rendah dari hewan.
Sehingga, dalam pemenuhan kebutuhan manusia itu akan senantiasa terikat dengan penggunaan akal. Nah disinilah peran akal dalam menentukan misalnya kebolehan sesuatu dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh manusia. Namun, status boleh atau tidaknya sesuatu tidak boleh berdasar semata pada penilaian manusia. Harus ada sesuatu yang menjadi patokan untuk seluruh manusia. Hal ini dikarenakan setiap manusia punya patokan, persepsi, landasan atau dasar berbeda dalam mengambil keputusan. Sehingga bisa dipastikan, antara manusia satu dengan yang lainnya akan berbeda dalam penentuan boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan.
Maka tiada jalan lain buat manusia kecuali menetapkan penetap keputusan kecuali datang dari luar diri manusia, yakni datang dari Tuhan alam semseta, Allah SWT. Dengan begini, kehidupan manusia akan menjadi selamat.
Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala upaya. Upaya ijtihad dalam Islam dilakukan untuk melakukan penggalian hukum terhadap status hukum yang sifatnya furu’ (cabang), zhanni bukan menyangkut akidah yang sifatnya sudah pasti (qath’i).
Upaya ijtihad ini akan senantiasa ada dalam kehidupan manusia dikarenakan pemenuhan kebutuhan manusia yang senantiasa akan selalu ada selama manusia hidup. Sedangkan, status atau bentuk-bentuk kehidupan akan senantiasa berjalan dan bisa saja tidak akan sam,a bentuknya dengan kehidupan manusia yang lalu.
Walaupun fenomena kehidupan manusia itu bisa dikatakan merupakan sejarah yang berulang, namun dalam banyak hal penampakannya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini bisa terjadi dikarenakan adanya perbedaan tempat, lingkungan, wilayah ataupun dikarenakan adanya pengembangan teknologi yang semakin maju. Sehingga walaupun esensi perbuatan itu sama, namun dalam kenampakannya berbeda satu sama lain.
Contoh misalnya, manusia zaman dulu dan zaman sekarang untuk mencapai atau mengunjungi suatu wilayah memerlukan alat angkut atau sarana transportasi. Sebelum ditemukan kendaraan bermotor, kapal laut atau pesawat manusia mengendarai kuda, unta, rakit, atau perahu yang lama tempunya itu bisa berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Namun, dengan perkembangan teknologi transportasi lama tempuh tersebut bisa diringkas menjadi beberapa hari saja atau bahkan dalam hitungan jam saja.
Nah, dari sini akan muncul permasalahan baru untuk manusia. Yakni dalam hal mengenai status hukum atau bentuk penilaian terhadap perbedaan fenomena kehidupan seperti itu. Dalam Islam, jika seorang muslim melakukan perjalanan atau rihlah, diberikan kemudahan untuk menjamak (menggabung) atau mengqasar (meringkas) sholat. Namun, dengan adanya perkembangan teknologi seperti yang dikemukakan di atas, maka penggalian atas status hukum manusia melakukan perjalanan dengan menggunakan alat transportasi modern harus dilakukan. Di sinilah peran ijtihad itu.
Begitu pun dengan bentuk-bentuk perintah dan larangan dalam Islam yang lainnya terjadi modifikasi bentuk penampakannya dikarenakan perkembangan kehidupan manusia. Seperti hukum asuransi, hukum bank, dan lain sebagainya. Semua ini menuntut adanya upaya ijtihad terhadap perkara-perkara baru yang belum ditemukan status hukumnya dalam Al Quran ataupun Sunnah Nabi SAW.
Pintu ijtihad akan senantiasa terbuka dengan timbulnya berbagai permasalahan kehidupan yang mengharuskan adanya solusi terhadap permasalahan tersebut. Dan Islam memberikan cara untuk menjawab atau menggali hukum atau solusi terhadap permasalahan kehidupan manusia yang beragam dengan jalan melakukan ijtihad.
Namun perlu diketahui bahwa melakukan ijtihad tidak dibolehkan pada perkara yang sifatnya sudah pasti (qath’i) seperti jumlah rakaat dalam sholat, haramnya alkohol, haramnya babi dan anjing dan lain yang sejenis dengan ini. Pintu ijtihad hanya terbuka pada permasalahan baru yang dihadapi oleh manusia kemudian belum ditemukan status hukumnya atau dilakukan pada perkara cabang (furu’) saja. Wallahu ‘alam [Indrawirawan]