Bismillahir rahmanir rahiim…
Ilmu dan keterampilan adalah modal awal. Selain modal awal, ia juga menjadi dan berujud menjadi modal besar. Untuk mengarungi kehidupan, bergerak, menghadapi pergolakan hidup dan pemikiran, beraktivitas dan berinteraksi dengan sesama manusia. Ia adalah cahaya yang akan menerangi. Ia membuat si empunya percaya diri, menjadi berharga, menjadi berguna, bermanfaat, memberikan nilai dan kontribusi. Ia harus selalu hadir dalam langkah dan rentang waktu kehidupan manusia. Long life education.
Seorang pengemban dakwah memiliki tugas besar, ekstra, dan lebih dibandingkan yang lain. Selain mengurus urusannya secara pribadi, keluarganya, atau karirnya, namun pikirannya juga senantiasa memikirkan dan merisaukan persoalan, permasalahan yang dihadapi oleh ummat manusia. Ia pribadi yang sholeh secara individu, namun ia juga akan beralih kepada shalih sosial. Tambahan kegiatannya banyak, bervariasi, dan heterogen. Ia menjadi pribadi yang sangat GU, gila urusan. Apalagi hal itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia menghiasi pribadinya dengan sebuah motivasi besar “Sebaik-baik manusia, adalah yang paling banyak manfaatnya bagi yang lain“. Sebuah baris kalimat nasihat, hadits, dari manusia yang paling menyejarah di dunia, Rasulullah Muhammad SAW.
Karena urusan yang dia geluti banyak, pikirannya tidak hanya fokus mengakar tunggang namun dalam dan mengakar serabut, maka ia menjadi pembelajar sejati. Belajar berbagai macam persoalan. Politik, ekonomi, sosial, sistem pergaulan, sistem pengaturan dalam dan luar negeri menjadi bagian makro yang dibahasnya selain persoalan mikro, kewajiban pribadi.
Pikirannya besar. Alam pemahamannya meluas. Hatinya menjadi lapang karena berpikir dan berjiwa besar. Kesulitan yang ia rasakan, menerpa diri pribadinya tidak membuat langkahnya terhenti. Boleh pula ia stagnan, sebentar saja. Namun, ia akan segera berbenah diri, beres-beres, bergegas karena gas pendorongnya berupa akidahnya melarangnya hanya memikirkan persoalan di bawah dan di atas perut.
Ia memang individu kecil, berdiri sendiri, mandiri dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri, nafsi-nafsi. Namun, gagasannya besar. Pandangannya jauh ke depan, menembus berbagai sudut dan masa. Menjauh lagi hingga ke dunia selanjutnya; alam kubur, hari perhitungan, yaumil akhir. Inilah permata paling berharga dalam dirinya.
Perhatiannya telah beranjak, dari sekedar memuaskan dirinya secara pribadi, hedonisme, beralih dan berpindah jauh menuju jalan yang sukar dan menanjak. To be climbers, menjadi seorang pendaki. Tahta tertinggi yang ingin dicapainya berada pada strata tertinggi teori motivasi. Ia telah beranjak dan meninggalkan para Quitters dan Campers. “Maka, tidakkah sebaiknya dia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu, apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (TQS. Al Balad: 11-12).
Urusannya senantiasa bertambah. Seiring dengan tingkat kesadarannya akan kerusakan yang terjadi; moralitas, lingkungan, kultural hingga soalan kompleks kepada permasalahan struktural, sistemik. Tingkat akut nan membahayakan jika ia berwujud penyakit. Namun, ia tidak lekas berubah asa, patah asa hingga menjadi seorang pesimis dengan segala keadaan yang ada. Ia upgrade dan update segala hardware dan software yang dibutuhkan untuk bertarung. Taruhannya jelas, kalimatullah bisa tegak. Risalah Rasulullah bisa tersampaikan dan menjadi mainstream dalam segala aspek kehidupan.
Pada awalnya nyalinya ciut. Menantang peradaban besar dan kelam. Namun, itu tidak bertahan lama. Jiwanya panas, pikirannya tidak mau berleha-leha. Ia bagai tungku panas. Siap mengobarkan didihnya kepada ummat. Hingga ummat itu mau bergerak bersama-sama dengannya mengusung perubahan. Itulah, gambaran hizb, golongan, organisasi menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani di dalam kitabnya, At Takatul Hizbi.
Awalnya ia gamang. Takut melangkah. Apalagi tampil di depan sambil mengepal tangan dan berkata, “Inilah diriku dan ideologiku”. Namun ia obati nafsiyahnya yang urung unjuk, seorang muslim yang hebat bukanlah yang mengatakan inilah nasab-ku, nenek moyangku yang hebat. Namun, ia menyatakan inilah karyaku.
Karyanya adalah sebaik-baik karya. Tidak lepas tanpa kontrol. Ia iringi dan tautkan dengan akidah Islam. Tidak keluar jalur. Sabar dalam menitih. Ia tahu bahwa pada saat itu ia sedang berpegang pada tali (buhul) yang kokoh, Laa ilaha illallah Muhammadar Rasulullah. Siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan meneguhkan kedudukannya di muka bumi.
Ia adalah seorang syabab, pemuda. Seruan mulia ia follow up, tindak lanjuti. Ia nyatakan dengan aksi pencerdasan ummat. Ia punya energi yang tak terbatas dan tak bertepi.” Fikrah yang diyakini dengan keimanan yang kuat. Terbentang keikhlasan di jalannya. Bersemangat untuk memperjuangkan. Siap berkorban untuk mewujudkannya”, inilah petuah Hasan AlBanna. (Risalah Ilasy-Syabaab, Seruan untuk Pemuda, 1936 M).
Pengembangan dirinya dilakukan dengan sepenuh sadar. Berkualitas secara vertikal, bertambah secara horizolntal. Tak ada space yang terlupa. Ia sadar ia makhluk, terbatas. Namun, bukan rem yang membuatnya berhenti. Dijadikannya segala kelebihan yang dimiliki untuk menampilkan karya demi Izzul Islam.
Maka, ia senantiasi bergerak.
Bergerak berkali-kali karena mati hanya sekali.
Wallahu a’lam bishawwab.