Menjelang seminar hasil dan banyak teman-teman saya yang hampir wisuda. Saya menulis seperti ini, “Suatu saat kami yang masih tinggal akan menemukan dan berhenti di stasiun-stasiun pemberhentian. Suatu saat kami yang tinggal juga akan turun, kami hanya belum menemukan stasiun kami.”
Stasiun pemberhentian itu adalah kelulusan, wisuda S1.
Sekarang, hampir telah dua bulan setelah wisuda saya saat postingan ini dibuat dengan kasih sayang Allah, saya pun mendapati stasiun saya. Tempat saya berhenti.
Entah bagaimana keputusan saya dan beberapa teman setelah ini, apakah akan berhenti di tempat ini kemudian kembali pulang membangun rumah masa depan kami atau berencana mengambil kendaraan lain untuk selanjutnya menuju stasiun lain, dengan rute dan tempat yang beda.
Ataukah kami memilih tetap berada di pelataran rumah kami, bersiap membangunnya dari awal hingga ia tegak kokoh terlihat dan berarti.
Kami Bingung
Lumrah diantara kami, mahasiswa selepas kuliah merasa bingung dengan status baru yang kami sandang dan bawa kemana-mana.
Di satu sisi, ia adalah sebuah kehormatan karena ada gelar strata satu (S1) dan dilain pihak ia adalah sebuah beban yang bukan beban ringan, karena ia menuntut sebuah amanah titel.
“Engkau bekerja untuk keluarga, menghidupi diri sendiri, mandiri atau engkau akan pincang, kalah, bagai abu tanpa guna dengan titel itu”.
Kebingungan itu memang menerpa kami. Desakan ekonomi dan gengsi berpadu.
Engkau yang telah lulus strata satu (S1) hendaknya berguna. Berguna jika engkau mampu memberikan sumbangsi rupiah bagi keluarga dan hidup mandiri (minimal), ini berarti tidak ada lagi uang saku.
Berdaya guna berarti ilmu mu yang empat tahun kurang lebih, engkau lakoni berbuah kerja, kerja, dan kerja.
Kata-kata itu meski kami lakoni, membludak dalam pikir kami. Kerja atau engkau gengsi. Mungkin…
Bingung, Tanpa Status Berarti
Bingung dan limpung adalah dua kosa kata yang senantiasa akrab dengan kami. Bingung entah kemana, namun kesadaran ini mulai muncul.
“Kami bingung karena kami tidak punya visi”, “Kami hilang arah karena memang kami tidak pernah menentukan arah”.
Limpung, entah ini meuncul karena kami belum pula menyandang status baru, pekerja. Limpung, boleh jadi hadir karena kami masih menunggu. Menunggu status dari para pemberi kerja. Limpung karena belum ada sandaran bagi kami untuk bersandar kerja.
Sedih. Namun sadar, kita sedang membangun
Jika dikatakan bahwa sarjana adalah sebuah keadaan dimana engkau menemukan stasiun pemberhentianmu. Maka, jangan linglung, limpung kawan.
Engkau mungkin lupa bahwa ada dua pilihan bagimu, melanjutkan cerita perjalanan dalam kendaraan baru (lanjut study) atau engkau kembali ke rumah membangun sendiri rumah masa depanmu.
Engkau juga mungkin lupa bahwa selama perjalanan yang panjang ini, 4 tahun lamanya (lebih sedikit boleh jadi). Engkau telah terisi dan punya kendaraan sendiri secara tidak langsung.
Entah bagaimana, kendaraan itu hadir dalam dirimu. Engkau tidak sadar. Kendaraan yang ku maksud adalah ilmu.
Empat tahun lebih sedikit dalam perjalanan ternyata ini, ada hadiah yang engkau bawa, kendaraan ilmu.
Maka jangan sia-siakan dia. Gunakan dia.
Melanjutkan perjalanan study atau engkau gunakan untuk membangun rumah masa depanmu. Rumah masa depan yang ku maksud kawan, adalah karir yang sebentar lagi engkau titih, lalui, dan perjuangkan.
Syukuri…
Satu obat yang mungkin cocok dan mujarab bagi mereka yang sedang menderita penyakit kelimpungan. Syukur dan ingat.
Ingatlah sedikit dan sebentar saja. Kita ini punya ilmu (kendaraan) yang berbeda. Namun, toh saya pikir mata kita terlalu jeli. Rumput tetangga selalu hijau.
Kendaraan orang lain selalu keren menurut kita. Celakanya kita lupa rumput dan kendaraan kita sendiri.
Susunan kalimat berputus asa ini hadir dan tidak mau alfa dari kehidupan kita. Ia hadir, salah satu jawabnya adalah karena kita selalu mengejar apa yang tidak kita punya.
Berhentilah. Sayangi apa yang kita telah punyai.
Tuhan ingin memperlihatkan bahwa, jangan hanya melihat keberhasilan orang lain yang tampak. Namun, coba telusuri dan ikuti apa yang telah mereka lakukan (tidak nampak) untuk menemui hasil keberhasilan itu.
Maka Inilah Kehidupan Pasca Wisuda
Bagi yang sedang berjuang, tetaplah berjuang. Bagi yang merasa lelah tetaplah lelah. Jangan merasa terhina.
Mungkin, ini masih terlalu pagi untuk mengharap panas mentari. Sebentar lagi panas terik keberhasilan menunggumu, di depan.
Tunggu sebentar saja, beberapa jam saja. Matahari keberhasilanmu akan datang menyengat.
Kita sedang membangun rumah masa depan kita, dengan sedikit perkakas yang dimiliki. Dengan segenggam peralatan yang dimiliki.
Namun, jangan lupa bahwa engkau telah mempunyai kendaraan, ilmu. Mari menjadi bersikap dewasa.