Skip to content

Bahagia Itu Sederhana dalam Islam. Taat pada Allah SWT

Bahagia 2BItu 2BSederhana 2Bdalam 2BIslam 2BTaat 2Bpada 2BAllah
Manusia secara fitrahwi mendambakan kebahagiaan. Mereka bekerja, beraktivitas, belajar, mengajar, berdagang atau berbisnis salah satu alasannya adalah untuk mencari kebahagian. Namun, pencarian dan dambaan itu akan menjadi fana jika sesuatu yang dicari itu tidak bisa tercapai dan tergapai.

Kebahagiaan akan menjauh dan semakin menjauh jika kita tidak mampu memberikan defenisi yang pas tentang bahagia. Sama saja kita mengejar sesuatu yang tak pernah ada. Berusaha mengobati rasa haus namun dahaga malah bertambah. Begitulah gambaran manusia yang hanya mencari kebahagiaan namun tidak mampu memberikan defenisi, batasan kebahagiaan dan dimana letak kebahagiaan itu.

Sebagai contoh, seorang pemuda menganggap bahwa kebahagiaan itu di saat dia berpendidikan tinggi. Maka ia pun akhirnya belajar dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Namun, setelah hal itu diraih mungkin ia merasa bahagia sejenak, namun ia bertanya setelah ini kebahagiaan apa yang akan saya raih? Mungkin akan dijawab, bekerja dan menikah.

Bahagia-Itu-Sederhana-dalam-Islam-Taat-pada-Allah

Setelah dua hal itu ia raih, maka ia mungkin merasa telah bahagia. Tetapi, pada saat ia berada dalam titik itu ia kemudian bertanya lagi, kebahagiaan apa lagi setelah ini? Maka, ia boleh jadi akan menjawab dengan keturunan yang banyak. Maka setelah ia mendapatkannya, maka ia kembali bertanya apakah ini kebahagiaan?

Begitu seterusnya dan seterusnya ia tidak pernah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya dikarenakan kesalahannya dalam mendefenisikan kebahagiaan dan letak kebahagiaan itu sendiri.

Arti Bahagia: KBBI

Arti bahagia dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah keadaan atau perasaan senang dan tentram (bebas dari segala yang menyusahkan). Defenisi ini hampir sama dengan perkataan para filsuf, bahwa kebahagiaan itu sifatnya subyektif. Bahagia adalah realitas subyektif bukan realitas obyektif.

Perkataan para filsuf ini bisa kita mengerti dalam beberapa kasus yang tidak masuk logika. Contohnya, saya ambil dari buku “Motivasi Nafsiyah, Pengokoh Jiwa nan Gundah”, anda bisa merasa bersedih karena sudah bekerja selama belasan tahun menjadi pegawai negeri tapi tak kunjung mampu memiliki mobil, namun ada orang yang menderita karena memiliki mobil. Sebabnya, ia harus membayar pajaknya, BBMnya, uang parkir, biaya perawatan, dan dicekam kekhawatiran kalau suatu saat terjadi tabrakan atau kecurian.

Pertanyaan tentang defenisi kebahagiaan pernah menderah para filsuf di zamannya. Dan sungguh disayangkan, absurdnya mereka mendefenisikan kebahagiaan toh ternyata masih menyelimuti sebagian umat manusia dan umat Islam pada khususnya. Ini tiada lain terjadi dikarenakan salahnya mereka dalam menentukan tujuan hidup itu sendiri.

Jawaban para filsuf tentang kebahagiaan terbagi menjadi dua kutub.  Saya meringksanya dari buku yang saya sebutkan di atas.

Pendapat pertama datang dari kaum Cynis-Phytagorean yang menyatakan bahwa kesenangan dan kenikmatan adalah musuh. Kebahagiaan tidak akan datang melalui kenikmatan.

Pendapat kedua, sungguh berkebalikan dari pendapat yang pertama. Pendapat ini menyatakan bahwa kebaikan tertinggi adalah kesenangan (highest good is pleasure). Memperturutkan segala keinginan. Pendapat kedua ini kemudian dikenal dengan aliran hedonisme (hedone, berarti kesenangan). Di zaman modern, hedonisme menjadi inti ajaran utilitariasnisme.

Doktrin ajaran ini adalah “apa saja yang bermanfaaat adalah kebaikan”, karenanya nilai etika sebuah perbuatan ditentukan oleh manfaat dari hasil perbuatan itu.

Bahagia adalah Sebuah Pilihan

Bahagia adalah sebuah pilihan. Ya, betul. Segala kehidupan kita di dunia memang banyak terjadi karena kita memilih. Namun, kita tidak boleh pula menjadi ekstrem dalam menilai sesuatu. Pada faktanya, tidak semua kejadian di dunia ini terjadi atas kehendak pilihan manusia. Contohnya, manusia tidak bisa memilih dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Tidak bisa memilih dimana dan dikeluarga mana dilahirkan. Satu hal yang pasti bahwa, kebahagiaan itu bisa kita yang memilih.

Lantas, bagaimana cara memilih kebahagiaan itu? Apakah kebahagiaan itu sifatnya universal. Sama dalam waktu dan tempat yang berbeda ataukah kebahagiaan itu relatif. Kebahagiaan adalah persepsi pribadi, subyektif. Maka, pengetahuan, ilmu, atau landasan pemikiranlah yang melandasi kebahagiaan itu.

Landasan, pondasi, tujuan hidup, dan pengetahuan tentang asal dan tempat kembali setelah di dunia inilah yang akan mewarnai dan mempengaruhi bagaimana kita mendefenisikan kebahagiaan.

Tujuan hiduplah yang akan memberikan batasan kebahagiaan bagi insan manusia. Maka mengentaskan pemahaman secara clear, jernih dan shahih tentang tujuan hidup menjadi sebab manusia mampu untuk mendefenisikan kebahagiaan itu. Maka, kebahagiaan hanya akan menjadi angan, bayangan tanpa wujud, kabut dan fatamorgana jika defenisi kebahagiaan tidak diketahui dengan pasti, kabur, dan tidak jelas.

Membahas tentang kebahagiaan, maka hal itu tidak bisa lepas dari pembahasan tujuan hidup serta tujuan atau nilai yang hendak dicapai dari perbuatan.

Berdasarkan pemahaman tentang fakta yang ada, terkait tujuan dilakukannya suatu perbuatan oleh manusia, maka terdapat berbagai tujuan yang hendak dicapai oleh manusia. Tujuan inilah yang dimaksud dengan nilai suatu perbuatan (qimatul amal).

Nilai suatu perbuatan bisa berupa nilai materi, seperti aktivitas dalam bisnis, perdagangan, pertanian, industri dan yang lain yang sejenis. Maka maksud dilakukannya perbuatan itu adalah untuk mencari keuntungan. Nilai suatu perbuatan dapat pula berupa nilai kemanusiaan, seperti menolong orang yang tenggelam atau yang berada dalam kesulitan. Adakalanya nilai perbuatan berupa nilai akhlaqiyah seperti jujur, kasih sayang, amanah.  Dan adapula yang bersifat ruhiyah seperti beribadah, shalat tahajud, shalat yang khusyu, berpuasa dan lain sebagainya.

Begitulah realitas perbuatan itu. Islam memberikan tuntunan agar semua perbuatan itu ‘dibungkus’, dilandasi dengan aspek ruhiyah, yakni beribadah kepada Allah SWT.

Maka bahagia itu menjadi sederhana. Tidak seperti aliran Cynis-Pythagorean yang meninggalkan kenikmatan dunia dan tidak pula sama dengan aliran hedonisme-utilitiarisme yang hanya mengejar kesenangan materi dan azas manfaat semata.
Bahagia itu Sederhana
Bahagia itu sederhana, memberi kepada sesama yang membutuhkan, tolong menolong, dan sebagainya yang merupakan wujud nilai kemanusiaan akan menjadi kebahagiaan yang Islami jika dilandasi pula dengan nilai ruhiyah di dalamnya. Mencari rezeki berupa aktivitas bekerja, berdagang, berbisnis yang merupakan wujud dari nilai materi akan menjadi kebahagiaan yang Islami jika dilandasi dengan nilai ruhiyah. Berbuat jujur, amanah, berkasih sayang akan menjadi sesuatu yang membahagiakan di dunia dan akhirat jika dilandasi dengan nilai ruhiyah.

Keadaan, situasi dan posisi yang tidak menguntungkan pun bisa menjadi sesuatu yang membahagiakan jika nilai ruhiyah tetap tertanam dama diri. Nilai ruhiyah ini tiada lain adalah keimanan kepada Allah SWT. Nestapa dan musibah ini akan menjadi kebaikan jika dilandasi dengan kesabaran. Perintah Allah SWT bagi manusia untuk bersikap dalam kondisi demikian.
Kebahagiaan dalam Islam itu juga seimbang, antara mengejar kebaikan akhirat namun tidak melupakan nikmat yang ada di dunia. Betul bahwa akhirat adalah tempat kembali, ridha Allah SWT adalah tujuan namun kita tidak boleh lupa pula dengan nikmat Allah SWT di dunia. Tempat kita berpijak. Sikap para ulama terhadap dunia adalah dengan penuh sederhana, sekedar menjadikannya sarana dan melarang mencintai dunia secara berlebihan. Akhirat ditempatkan dalam hati mereka, sedangkan dunia ditempatkan dalam tangan mereka.
“Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia” (QS. Al Qashash:77)

Oleh karena itu, Islam telah menetapkan kebahagiaan bagi seorang hamba adalah dengan mencari ridha Allah SWT. Tujuan di atas tujuan perbuatan adalah mengharap ridha Allah SWT. Firman Allah SWT yang artinya:
“Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya” (Al Fath:29)
Bahagia dengan Ridha Allah
Lantas, bagaimana bahagia dengan jalan mencari ridha Allah SWT? Jawabannya adalah dengan senantiasa terikat dengan perintah Allah SWT. Menaati perintah Allah SWT.
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisa: 65)

Inilah kebahagiaan menurut Islam. Kebahagiaan hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada Allah SWT. Penilaian tentang kebaikan dan keburukan hanya berdasarkan tolak ukur Islam. Kebaikan menurut mereka adalah kebaikan menurut Islam, dan keburukan menurut mereka adalah keburukan menurut Islam. Wallahu ‘alam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *